WeWork sempat mengalami masa jaya dengan valuasi sekitar Rp 700 triliun. Namun baru-baru ini mereka terpaksa mengeluarkan siaran pers yang mengatakan bahwa saham perusahaan terancam dihapuskan dari NYSE karena diperdagangkan di bawah US$1 (Rp 14 ribu) dalam waktu yang lama.
Pada tahun 2019, sebelum go public, WeWork bernilai US$47 miliar (sekitar Rp 688 triliun). Namun pada awal pekan ini, dengan perdagangan saham pada US$0,47 (sekitar RP 7.000) dan kapitalisasi pasar US$345,7 juta. Dengan demikian perusahaan telah kehilangan valuasi sekitar US$46,7 miliar (sekitar Rp 684 triliun) selama empat tahun.
Pada tahun 2021 mereka diakuisisi oleh BowX, sebuah perusahaan akuisisi dengan cek kosong dari Vivek Ranadivé, pendiri perusahaan perangkat lunak Tibco yang mungkin lebih dikenal sebagai mantan pemilik Golden State Warriors. Valuasi WeWork saat itu adalah US$9 miliar, demikian dikutip dari BusinessInsider, Jumat (28/4/2023)
Tapi begitu masuk tahun 2023, WeWork terlilit hutang sehingga belum menemukan masa depan untuk perusahaan. Bulan lalu, ia mencapai kesepakatan untuk merestrukturisasi utang, memotong kewajiban sekitar US$1,5 miliar, dan memperpanjang tanggal jatuh tempo surat utang lainnya dalam upaya untuk menghemat uang. Langkah ini diambil setelah mereka menutup 40 lokasi pada akhir 2022.
Ketika perusahaan rintisan senilai US$47 miliar menyusut secara drastis, tentu yang dirugikan adalah para investor. Dalam hal ini, Softbank paling menderita sejauh ini. Vision Fund masih menjadi pemegang saham terbesar WeWork dengan lebih dari 461,5 juta saham, atau sekitar 62% saham perusahaan.
Pemodal ventura lainnya juga masih memegang saham signifikan di WeWork termasuk Benchmark, sekitar 20 juta saham, atau hampir 3% dari perusahaan. Dan Insight Partners, yang memegang hampir 13 juta saham, atau kurang dari 2 %, menurut pengajuan peraturan baru-baru ini.
Lalu ada Neumann, yang memiliki lebih dari 68 juta saham biasa dan hampir semua saham Kelas C – hampir 20 juta saham.